Senin, 23 Agustus 2010
Setelah Mati
Catatan Perjalanan
"Tidur cantik". Tengah malam kuterima pesan darimu. Sesuai perkiraan, kau selalu tahu aku masih belum terlelap. Ini yang aku suka dari malam. Segelas coklat dingin, tugas, layar komputer dan pesan teks darimu. Lengkap sudah. Aku merasa sedang mencicipi bagian dari surga. Mungkin saat itu jiwaku sedang menari mengikuti irama musik klasik. Satu jarum pendek jam di dinding ruang keluarga hampir menunjuk angka satu, sedang jarum yang lain berada di angka sebelas. Pukul satu kurang lima menit, nampaknya kau sudah tertidur. Ponselpun sudah tak lagi berkicau. Ya, kau pasti tengah terlelap. Dan aku masih ingin terjaga, membiarkan bintang, bulan dan semesta meniupkan mimpi dan kehidupan yang indah dalam tidurmu. Terus saja kukerjakan tugas dengan rasa khawatir bahwa aku akan melewatkan waktu subuh kemudian terlambat ke kampus. Kalau sudah begitu, untuk apa aku semalaman mengerjakan tugas? Kuputuskan mengirimi satu pesan teks padamu, meminta untuk membangunkanku pagi-pagi. Tiga per-empat malam tugas selesai dan aku dapat tertidur, akhirnya.
Pagi-pagi telepon darimu berdering. Tunggu sebentar, kuangkat panggilan dengan mata masih terpejam, setelah itu kembali terlelap. Sepertinya gerimis baru saja reda. Redup matahari membuat mata tak kunjung membuka. Ibu berteriak, membangunkanku. Pukul berapa ini? Pelan-pelan kupaksakan mata melihat jam berbentuk tokoh kartun kesayanganku di sisi ranjang. Ah sial, pukul delapan. Seharusnya pukul sembilan aku sudah berada di kampus, duduk pait mempersiapkan sebuah presentasi di hadapan teman-teman. Itu artinya aku akan terlambat sampai kampus dan usaha mengerjakan tugas malam tadi terancam tidak mempunyai arti. Bergegaslah aku mandi, aku berbenah. Terburu-buru pergi ke luar rumah. Benar saja gerimis baru reda, embun-embun berserakan di pekarangan. Dingin pagi semakin membuatku kehilangan rasa optimis akan sampai kampus pada waktu yang tepat. Dengan mengucap basmallah aku berangkat kemudian tiba lima belas menit lewat dari pukul sembilan. Untung saja dosen belum datang. Seperti biasa kata basmallah selalu diakhiri dengan hamdallah.
Kira-kira pukul sebelas kelas presentasi selesai. Ah, tak sabar aku bertemu denganmu. Rindunya... Ya, hari ini memang aku ingin ditemani olehmu walau sebentar hanya setetes waktu, tak apa. Melihatmu dari kejauhan saja -seperti biasa, sebenarnya rasa rinduku bisa hilang. Tapi aku ingin menghilangkan rasa rindu kemudian memunculkannya kembali, jadi kuputuskan untuk bertemu, bersamamu. Keluar kelas, lagi-lagi kukirim sebuah teks dalam pesan. Aku sudah selesai dengan urusanku dan siap bertemu. Kupastikan kau mencerna, memahami, kemudian mengembalikan katakata kepadaku. Ternyata kau belum selesai dengan urusanmu. Aku menunggumu di ruang waktu puisi, tak pernah tahu batas dan tak mengenal waktu. Angin memang sangat kencang saat itu, tapi tidak juga dapat menerbangkan segala penantian yang ada di otak. Angin begitu lembut membelai tubuh sambil menemani.
Hampir pukul satu siang kulihat dari petunjuk waktu ponselku. Kau datang berwajah malu-malu, senyum berkali-kali. Terlihat ada kebahagiaan disana, hatimu. Tapi kubiarkan saja duduk terlebih dahulu, terdiam. Mungkin masih ingin meneruskan menikmati letupan kebahagiaan yang belum meledak. Tak lama bibir yang anggur itu berkisah tentang cerita bahagia, sebuah awal dari salah satu mimpi utama. Aku memang bukan perenang ulung, tapi nampaknya kali ini aku berhasil menyelam di bahagiamu. Kau dan aku berjalan beriringan menuju kantin sambil menyisipkan kenangan sepanjang jalan. Di kantin, kembali aku mendengarkan segala cerita bahagia, rintih dan gurauan. Dan aku mengirimkan napas untukmu. Kau akan tetap bernapas, terjaga dengan hasrat tanpa waktu yang membeku.
Pukul dua lebih tiga puluh menit. Ibu mengirim pesan, aku harus cepat pulang. Istri dari adik Ibuku meminta aku untuk menemani sisa hari itu. Ah! Waktu kita telah habis. Sebenarnya aku masih ingin berada disana, bersamamu, di dekatmu, menemani, tak mau pergi seperti malam yang datang kemudian pergi setiap hari. Aku pamit, memberi kucupan di tanganmu kemudian berjalan, masuk mobil, dan berlalu hingga hilang gema di telingamu. Kususuri lorong jalan yang terasa jauh. Seperti langkahmu, menjauh. Ternyata benar, rinduku hilang tadi, tapi kau langsung menanam kembali rindu di akar hatiku. Melebur dengan darah tubuh, mengalir ke setiap organ. Aku sadar, begitu kupulang, ada yang hilang.
Kamar, 2010
Aku Hari Ini
bahwa
aku takkan pernah kau ambil
buat ia membuang semua rasa kalut
dan ketakutan pada kehilangan
katakan pula padanya
jika
kau memang begitu ingin aku menjadi teman
katakan
jika kau tak bisa mengatakannya
katakan saja yang sejujurnya
tentang kau dan aku
tentang yang kau perjuangkan sebentar ini.
2010
Akhir Kesabaran Sang Suami
"Tak apa, kau tak ada di siang ini,"
Suamiku tersenyum. Membukakan pintu kemudian
merangkulku. Aku segera meletakkan tas, pergi
ke kamar. Beriringan.
Aku mulai melepaskan pakaianku, pakaian dalamku.
Suamiku tersenyum. Dipeluknya aku dengan hangat,
seperti akar merekatkan diri kepada tanah.
"Tak apa, kau tak ada di siang ini,"
Suamiku masih menumpuk kata di bawah bantal,
sementara aku membentuk awan di kasur, berantakan.
Suamiku tersenyum. Memakaikan pakaianku kembali, kemudian pergi.
27 Juli 2010
Sesuai Rencana
Aku sudah memakai pakaian pengantin, Pah. Baru ada satu set kursi tamu yang katanya untuk alas ketika aku lelah saat pernikahan nanti. Kita harus melakukan sesuatu. Bertanya dimana banyak set untuk makan, duduk, juga seperangkat alat musik. Lalu kemana 500 tamu yang kau undang? Seperti biasa, terus saja kau lantunkan ayat omong kosong. Dan terus saja kau bisikkan ketenangan dari bathinmu, berulang-ulang. Sudahlah. Biar aku bergerak sendiri. Dari kanan kemudian kiri kemudian kembali kanan, terus saja aku menengok bolak-balik, gelisah, lenggak-lenggok. Kupastikan semua rapih, mahar telah tersedia, duduk manis di kamar pengantin. Seperangkat alat untuk sembahyang -aku lupa apa namanya, mukena? atau salibkah? atau mungkin dupa? juga tentu sudah berjejer rapih dibelakang mahar. Aku tahu aku pasti akan menangis hari ini, ketika ijab dan qabul menjadi tontonan. Ternyata capek ya menjadi pengantin, padahal baru calon. Duduklah aku kemudian. Menyandarkan kepala ke tepi kursi. Kulihat sekitar, mengapa mereka melihatku seperti itu? Aneh. Aih, aku baru ingat, ternyata aku hanya pengantin tunggal. Akhirnya kunikmati hari ini dengan air mata, sesuai rencana.
Bandung 2010
Kutemukan Tanahmu di Malam Hari
di malam hari,
aku tak melihat yang lain
kecuali jenis tanahmu
bulan mulai memantulkan cahaya
yang tak pernah berhenti
coba membiarkanku diam di waktu malamnya
rumahrumah menjadi saksi
saat pagi berganti siang
kemudian menjadi sore
sebelum kau berdiri di tempat persembunyianku
kepada siapa aku bisa mengajak untuk melihatmu
sedang para penjaga sibuk duduk diam di pinggir malam
aku begitu tahu kau pasti ada
menulis namaku
membantu kakiku
melangkah
dan menyiapkan satu nafas lagi
aku tahu
malam itu
aku tak melihat yang lain
kecuali jenis tanahmu
dan aku tahu
aku tak melihat yang lain
kecuali wajah bulanmu
yang terkadang tertutup embun
di malam hari
Juli 2010
Menjelang Sore Aku Mengintipmu
:Fathur Rahman
Aku telah beranjak setelah hujan berhenti
setelah tugas konyol yang belum selesai kuberikan
setelah tersampaikan sebuah pelajaran untuk sang ketua
dan tentu setelah kau datang siang hari
Kau datang di siang hari
membawa buku puisi yang kau pinjam
setelah selesai 3 hal penting : duduk
melihat
berdoa
Kau datang di siang hari
tepat saat penghuni perut menggerogot dinding lambung
dan (lagi-lagi) tepat waktu sedang tak berkawan
Di kantin itu
kau dan aku duduk berhadap-hadapan
mulai menceritakan segala jalan yang dilewati
(saat itu) kupikir kau teman yang dititipi satu napas
Kau lihat jalan kesedihanku
seperti pelangi begitu indah. Dan aku
berlari di atasnya. Coba saja kau mulai telisik
caraku melangkahkan kaki. Gestur saat mulai berlari, lalu
suara bergema di langit. Bernyanyilah aku ketika
masa lalu memainkan tarian surga, dan aku
mulai menikmati manisnya dosa-dosa
Kau terdiam, diam yang tak kosong
sampai terunut jalan indahmu
bersama puteri berkerudung putih
Kau datang di siang hari
menjelang sore aku mengintipmu
Bandung, 2010
Dan Aku Memintal Tanya
Disimpannya langit yang semakin menghitam. Dan awan mulai berarak menutupi
matahari. Lalu kemana perginya cahaya? Dibiarkannya gelap bersorak-sorai.
Aku mulai membuka pintu dengan luka, membiarkan masuk ia yang sejak pagi berdiri.
Masa lalu, Setiabudi, dan air mata menimbun di tubuhku. Mereka melumat tubuh,
menari-nari sendiri. Seorang lelaki masuk. "Beri aku sebuah kepercayaan,
maka takkan lagi ada permainan konyol seperti kemarin". Percakapan
menjadi bara di atas meja. Kukunyah api. Ia keluarkan air.
Dititipkan hati pada sebuah benda. "Ini bukan apa-apa, semoga
kau mulai dapat menyambung cerita, merangkainya di lubang hati, kemudian
kau tanam menjadi bagian tubuhmu". Aku mulai memintal takut dan resah. Memasukkan
ke lubang otak. Kututup pintu. Dan akhirnya kau lumuri tempat tidurku dengan kata-katamu.
-Buat Angga Nurfauza Rachviana
Bandung, 4 Juli 2010
Pulanglah
Pulanglah kekasih.
Kataku ketika kau lihat aku mulai merah bernanah
Dan takut pada hal yang orang sebut mati
Sendu tak mampu merobek keputusan
Pulanglah kekasih.
Bahkan jika kau lihat aku tergeletak di sini
Tak ada yang mampu merobek keputusan
Dan tak ada yang dapat mengganti keputusasaan.
Jatinangor, 28 Juni 2010
Lelaki Berbaju Kuning
- Melihat matamu yang begitu indah, begitu tercermin surga. Sedang kepala yang engkau tengadahkan, menyiratkan satu makna baru atas kesombonganmu -ialah engkau yang menarinari di atas tanah, meliukliuk kepada derita. Aku akan terus mengeksplor tubuhmu, bukan lagi jiwa kebinatanganmu. Terus sehingga dapat kujahit boneka berwajah cantik dan mempunyai lesung, yang kemudian bisa kau cium dan bisa kau naiki memainkan tariantarian surga, kembali.
Pergantian Hari
Puisi
Puisi,
Begitu tersembunyi
Aku setia dengan berjuta rahasia
Puisi,
Siapa? Siapa?
Sampai kapan ketidakadilan menjadi milikku?
Puisi,
Kau yang membangunkanku
Dalam gelap sore hari
Malah kau pakai topeng jingga
Puisi,
Aku ingin melihatmu
Pada dimensi lalu
Walau dengan kebodohanku
Yang terpenting kutahu
-(saat itu) kau menautkan aku
Mengapa Sesa(a)t?
sesa(a)t
sebelum semua pergi
aku rasa jantung terhenti
terkulai
mati?
Sekre Himasa Jatinangor, 11 April 2010
Lelaki Penjaja Senyum
lebih dahsyat dari hatiku,
21 Januari 2010
Pesisir
bawa perempuan itu
kembalikan pada pesisir
iring aku menggantikan dia
2010
Ayah...
Ayah sesak napas
Kalut mencegat
Sampai sembuh lalu tidur pulas
Sampai sekarang aku ingin minggat
Dari malam yang, masih membuat lemas
Melihat Ia tertidur padat. selalu
Membuat trauma akan akhir napas
Bandung, 22 Januari 2010
Pahami
Aku tahu engkau sedang rapuh, hati
Tapi lihat air terjun
Berapa kilo air melimpah
Apa akan rapuh karena air?
Pahami.
Kamarku, 28 Januari 2010
Bukan Main
sendiri, aku mengelilingi lantai dasar gedung berumur
kulewati 1 ubin
ada puntung di situ
hentak per hentak
"puisiku, hati"
"aku tak mau puisi penuh carut"
"cape aku, hati"
"aku tetap saja begini"
terus saja ramai hatiku
seperti banyak orang lalu lalang
kembali, aku melewati lantai berpuntung
"aku akan tersenyum setelah melewati lantai berpuntung yang kedua kali"
terus saja hatiku bergumam, cemas
ternyata masih samar
"jangan kosong,hati jangan"
beriringan, sekarang
aku dan kamu melewati lantai berpuntung lagi
"ya, kali ini semoga sudah jelas"
malah diam,
kembali berkeliling
melewati lantai berpuntung
kemudian diam lagi
berkeliling
melewati lantai berpuntung
kemudian diam lagi
berkeliling
melewati lantai berpuntung
kemudian diam lagi
akh!
bunuh saja aku
Bandung, Februari
Mungkin
bertanya padamu
dalam hati
dengan dongkol
tanpa mengerti
rasa apa di hati
seorang wanita indah
menaiki gubuk di hati
tanpa tau
ditambah sadar
seorang wanita indah
berupa berlian
malaikat
putri di kerajaan gubuk hatimu
seorang wanita indah
itu dia,
kasihmu.
Catatan Perjalanan
"Tidur cantik". Tengah malam kuterima pesan darimu. Sesuai perkiraan, kau selalu tahu aku masih belum terlelap. Ini yang aku suka dari malam. Segelas coklat dingin, tugas, layar komputer dan pesan teks darimu. Lengkap sudah. Aku merasa sedang mencicipi bagian dari surga. Mungkin saat itu jiwaku sedang menari mengikuti irama musik klasik. Satu jarum pendek jam di dinding ruang keluarga hampir menunjuk angka satu, sedang jarum yang lain berada di angka sebelas. Pukul satu kurang lima menit, nampaknya kau sudah tertidur. Ponselpun sudah tak lagi berkicau. Ya, kau pasti tengah terlelap. Dan aku masih ingin terjaga, membiarkan bintang, bulan dan semesta meniupkan mimpi dan kehidupan yang indah dalam tidurmu. Terus saja kukerjakan tugas dengan rasa khawatir bahwa aku akan melewatkan waktu subuh kemudian terlambat ke kampus. Kalau sudah begitu, untuk apa aku semalaman mengerjakan tugas? Kuputuskan mengirimi satu pesan teks padamu, meminta untuk membangunkanku pagi-pagi. Tiga per-empat malam tugas selesai dan aku dapat tertidur, akhirnya.
Pagi-pagi telepon darimu berdering. Tunggu sebentar, kuangkat panggilan dengan mata masih terpejam, setelah itu kembali terlelap. Sepertinya gerimis baru saja reda. Redup matahari membuat mata tak kunjung membuka. Ibu berteriak, membangunkanku. Pukul berapa ini? Pelan-pelan kupaksakan mata melihat jam berbentuk tokoh kartun kesayanganku di sisi ranjang. Ah sial, pukul delapan. Seharusnya pukul sembilan aku sudah berada di kampus, duduk pait mempersiapkan sebuah presentasi di hadapan teman-teman. Itu artinya aku akan terlambat sampai kampus dan usaha mengerjakan tugas malam tadi terancam tidak mempunyai arti. Bergegaslah aku mandi, aku berbenah. Terburu-buru pergi ke luar rumah. Benar saja gerimis baru reda, embun-embun berserakan di pekarangan. Dingin pagi semakin membuatku kehilangan rasa optimis akan sampai kampus pada waktu yang tepat. Dengan mengucap basmallah aku berangkat kemudian tiba lima belas menit lewat dari pukul sembilan. Untung saja dosen belum datang. Seperti biasa kata basmallah selalu diakhiri dengan hamdallah.
Kira-kira pukul sebelas kelas presentasi selesai. Ah, tak sabar aku bertemu denganmu. Rindunya... Ya, hari ini memang aku ingin ditemani olehmu walau sebentar hanya setetes waktu, tak apa. Melihatmu dari kejauhan saja -seperti biasa, sebenarnya rasa rinduku bisa hilang. Tapi aku ingin menghilangkan rasa rindu kemudian memunculkannya kembali, jadi kuputuskan untuk bertemu, bersamamu. Keluar kelas, lagi-lagi kukirim sebuah teks dalam pesan. Aku sudah selesai dengan urusanku dan siap bertemu. Kupastikan kau mencerna, memahami, kemudian mengembalikan katakata kepadaku. Ternyata kau belum selesai dengan urusanmu. Aku menunggumu di ruang waktu puisi, tak pernah tahu batas dan tak mengenal waktu. Angin memang sangat kencang saat itu, tapi tidak juga dapat menerbangkan segala penantian yang ada di otak. Angin begitu lembut membelai tubuh sambil menemani.
Hampir pukul satu siang kulihat dari petunjuk waktu ponselku. Kau datang berwajah malu-malu, senyum berkali-kali. Terlihat ada kebahagiaan disana, hatimu. Tapi kubiarkan saja duduk terlebih dahulu, terdiam. Mungkin masih ingin meneruskan menikmati letupan kebahagiaan yang belum meledak. Tak lama bibir yang anggur itu berkisah tentang cerita bahagia, sebuah awal dari salah satu mimpi utama. Aku memang bukan perenang ulung, tapi nampaknya kali ini aku berhasil menyelam di bahagiamu. Kau dan aku berjalan beriringan menuju kantin sambil menyisipkan kenangan sepanjang jalan. Di kantin, kembali aku mendengarkan segala cerita bahagia, rintih dan gurauan. Dan aku mengirimkan napas untukmu. Kau akan tetap bernapas, terjaga dengan hasrat tanpa waktu yang membeku.
Pukul dua lebih tiga puluh menit. Ibu mengirim pesan, aku harus cepat pulang. Istri dari adik Ibuku meminta aku untuk menemani sisa hari itu. Ah! Waktu kita telah habis. Sebenarnya aku masih ingin berada disana, bersamamu, di dekatmu, menemani, tak mau pergi seperti malam yang datang kemudian pergi setiap hari. Aku pamit, memberi kucupan di tanganmu kemudian berjalan, masuk mobil, dan berlalu hingga hilang gema di telingamu. Kususuri lorong jalan yang terasa jauh. Seperti langkahmu, menjauh. Ternyata benar, rinduku hilang tadi, tapi kau langsung menanam kembali rindu di akar hatiku. Melebur dengan darah tubuh, mengalir ke setiap organ. Aku sadar, begitu kupulang, ada yang hilang.
Kamar, 2010
Sadar
Aku Hari Ini
bahwa
aku takkan pernah kau ambil
buat ia membuang semua rasa kalut
dan ketakutan pada kehilangan
katakan pula padanya
jika
kau memang begitu ingin aku menjadi teman
katakan
jika kau tak bisa mengatakannya
katakan saja yang sejujurnya
tentang kau dan aku
tentang yang kau perjuangkan sebentar ini.
2010
Akhir Kesabaran Sang Suami
"Tak apa, kau tak ada di siang ini,"
Suamiku tersenyum. Membukakan pintu kemudian
merangkulku. Aku segera meletakkan tas, pergi
ke kamar. Beriringan.
Aku mulai melepaskan pakaianku, pakaian dalamku.
Suamiku tersenyum. Dipeluknya aku dengan hangat,
seperti akar merekatkan diri kepada tanah.
"Tak apa, kau tak ada di siang ini,"
Suamiku masih menumpuk kata di bawah bantal,
sementara aku membentuk awan di kasur, berantakan.
Suamiku tersenyum. Memakaikan pakaianku kembali, kemudian pergi.
27 Juli 2010
Sesuai Rencana
Aku sudah memakai pakaian pengantin, Pah. Baru ada satu set kursi tamu yang katanya untuk alas ketika aku lelah saat pernikahan nanti. Kita harus melakukan sesuatu. Bertanya dimana banyak set untuk makan, duduk, juga seperangkat alat musik. Lalu kemana 500 tamu yang kau undang? Seperti biasa, terus saja kau lantunkan ayat omong kosong. Dan terus saja kau bisikkan ketenangan dari bathinmu, berulang-ulang. Sudahlah. Biar aku bergerak sendiri. Dari kanan kemudian kiri kemudian kembali kanan, terus saja aku menengok bolak-balik, gelisah, lenggak-lenggok. Kupastikan semua rapih, mahar telah tersedia, duduk manis di kamar pengantin. Seperangkat alat untuk sembahyang -aku lupa apa namanya, mukena? atau salibkah? atau mungkin dupa? juga tentu sudah berjejer rapih dibelakang mahar. Aku tahu aku pasti akan menangis hari ini, ketika ijab dan qabul menjadi tontonan. Ternyata capek ya menjadi pengantin, padahal baru calon. Duduklah aku kemudian. Menyandarkan kepala ke tepi kursi. Kulihat sekitar, mengapa mereka melihatku seperti itu? Aneh. Aih, aku baru ingat, ternyata aku hanya pengantin tunggal. Akhirnya kunikmati hari ini dengan air mata, sesuai rencana.
Bandung 2010
Kutemukan Tanahmu di Malam Hari
di malam hari,
aku tak melihat yang lain
kecuali jenis tanahmu
bulan mulai memantulkan cahaya
yang tak pernah berhenti
coba membiarkanku diam di waktu malamnya
rumahrumah menjadi saksi
saat pagi berganti siang
kemudian menjadi sore
sebelum kau berdiri di tempat persembunyianku
kepada siapa aku bisa mengajak untuk melihatmu
sedang para penjaga sibuk duduk diam di pinggir malam
aku begitu tahu kau pasti ada
menulis namaku
membantu kakiku
melangkah
dan menyiapkan satu nafas lagi
aku tahu
malam itu
aku tak melihat yang lain
kecuali jenis tanahmu
dan aku tahu
aku tak melihat yang lain
kecuali wajah bulanmu
yang terkadang tertutup embun
di malam hari
Juli 2010
Menjelang Sore Aku Mengintipmu
:Fathur Rahman
Aku telah beranjak setelah hujan berhenti
setelah tugas konyol yang belum selesai kuberikan
setelah tersampaikan sebuah pelajaran untuk sang ketua
dan tentu setelah kau datang siang hari
Kau datang di siang hari
membawa buku puisi yang kau pinjam
setelah selesai 3 hal penting : duduk
melihat
berdoa
Kau datang di siang hari
tepat saat penghuni perut menggerogot dinding lambung
dan (lagi-lagi) tepat waktu sedang tak berkawan
Di kantin itu
kau dan aku duduk berhadap-hadapan
mulai menceritakan segala jalan yang dilewati
(saat itu) kupikir kau teman yang dititipi satu napas
Kau lihat jalan kesedihanku
seperti pelangi begitu indah. Dan aku
berlari di atasnya. Coba saja kau mulai telisik
caraku melangkahkan kaki. Gestur saat mulai berlari, lalu
suara bergema di langit. Bernyanyilah aku ketika
masa lalu memainkan tarian surga, dan aku
mulai menikmati manisnya dosa-dosa
Kau terdiam, diam yang tak kosong
sampai terunut jalan indahmu
bersama puteri berkerudung putih
Kau datang di siang hari
menjelang sore aku mengintipmu
Bandung, 2010
Dan Aku Memintal Tanya
Disimpannya langit yang semakin menghitam. Dan awan mulai berarak menutupi
matahari. Lalu kemana perginya cahaya? Dibiarkannya gelap bersorak-sorai.
Aku mulai membuka pintu dengan luka, membiarkan masuk ia yang sejak pagi berdiri.
Masa lalu, Setiabudi, dan air mata menimbun di tubuhku. Mereka melumat tubuh,
menari-nari sendiri. Seorang lelaki masuk. "Beri aku sebuah kepercayaan,
maka takkan lagi ada permainan konyol seperti kemarin". Percakapan
menjadi bara di atas meja. Kukunyah api. Ia keluarkan air.
Dititipkan hati pada sebuah benda. "Ini bukan apa-apa, semoga
kau mulai dapat menyambung cerita, merangkainya di lubang hati, kemudian
kau tanam menjadi bagian tubuhmu". Aku mulai memintal takut dan resah. Memasukkan
ke lubang otak. Kututup pintu. Dan akhirnya kau lumuri tempat tidurku dengan kata-katamu.
-Buat Angga Nurfauza Rachviana
Bandung, 4 Juli 2010
Pulanglah
Pulanglah kekasih.
Kataku ketika kau lihat aku mulai merah bernanah
Dan takut pada hal yang orang sebut mati
Sendu tak mampu merobek keputusan
Pulanglah kekasih.
Bahkan jika kau lihat aku tergeletak di sini
Tak ada yang mampu merobek keputusan
Dan tak ada yang dapat mengganti keputusasaan.
Jatinangor, 28 Juni 2010
Lelaki Berbaju Kuning
- Melihat matamu yang begitu indah, begitu tercermin surga. Sedang kepala yang engkau tengadahkan, menyiratkan satu makna baru atas kesombonganmu -ialah engkau yang menarinari di atas tanah, meliukliuk kepada derita. Aku akan terus mengeksplor tubuhmu, bukan lagi jiwa kebinatanganmu. Terus sehingga dapat kujahit boneka berwajah cantik dan mempunyai lesung, yang kemudian bisa kau cium dan bisa kau naiki memainkan tariantarian surga, kembali.
Pergantian Hari
Puisi
Puisi,
Begitu tersembunyi
Aku setia dengan berjuta rahasia
Puisi,
Siapa? Siapa?
Sampai kapan ketidakadilan menjadi milikku?
Puisi,
Kau yang membangunkanku
Dalam gelap sore hari
Malah kau pakai topeng jingga
Puisi,
Aku ingin melihatmu
Pada dimensi lalu
Walau dengan kebodohanku
Yang terpenting kutahu
-(saat itu) kau menautkan aku
Mengapa Sesa(a)t?
sesa(a)t
sebelum semua pergi
aku rasa jantung terhenti
terkulai
mati?
Sekre Himasa Jatinangor, 11 April 2010
Lelaki Penjaja Senyum
Pesisir
bawa perempuan itu
kembalikan pada pesisir
iring aku menggantikan dia
2010
Ayah...
Ayah sesak napas
Kalut mencegat
Sampai sembuh lalu tidur pulas
Sampai sekarang aku ingin minggat
Dari malam yang, masih membuat lemas
Melihat Ia tertidur padat. selalu
Membuat trauma akan akhir napas
Bandung, 22 Januari 2010
Pahami
Aku tahu engkau sedang rapuh, hati
Tapi lihat air terjun
Berapa kilo air melimpah
Apa akan rapuh karena air?
Pahami.
Kamarku, 28 Januari 2010
Bukan Main
sendiri, aku mengelilingi lantai dasar gedung berumur
kulewati 1 ubin
ada puntung di situ
hentak per hentak
"puisiku, hati"
"aku tak mau puisi penuh carut"
"cape aku, hati"
"aku tetap saja begini"
terus saja ramai hatiku
seperti banyak orang lalu lalang
kembali, aku melewati lantai berpuntung
"aku akan tersenyum setelah melewati lantai berpuntung yang kedua kali"
terus saja hatiku bergumam, cemas
ternyata masih samar
"jangan kosong,hati jangan"
beriringan, sekarang
aku dan kamu melewati lantai berpuntung lagi
"ya, kali ini semoga sudah jelas"
malah diam,
kembali berkeliling
melewati lantai berpuntung
kemudian diam lagi
berkeliling
melewati lantai berpuntung
kemudian diam lagi
berkeliling
melewati lantai berpuntung
kemudian diam lagi
akh!
bunuh saja aku
Bandung, Februari