Gerhana bulan kehilangan penonton. Gelap malam pun merayakan kemenangannya.
Disimpannya langit yang semakin menghitam. Dan awan mulai berarak menutupi
matahari. Lalu kemana perginya cahaya? Dibiarkannya gelap bersorak-sorai.
Aku mulai membuka pintu dengan luka, membiarkan masuk ia yang sejak pagi berdiri.
Masa lalu, Setiabudi, dan air mata menimbun di tubuhku. Mereka melumat tubuh,
menari-nari sendiri. Seorang lelaki masuk. "Beri aku sebuah kepercayaan,
maka takkan lagi ada permainan konyol seperti kemarin". Percakapan
menjadi bara di atas meja. Kukunyah api. Ia keluarkan air.
Dititipkan hati pada sebuah benda. "Ini bukan apa-apa, semoga
kau mulai dapat menyambung cerita, merangkainya di lubang hati, kemudian
kau tanam menjadi bagian tubuhmu". Aku mulai memintal takut dan resah. Memasukkan
ke lubang otak. Kututup pintu. Dan akhirnya kau lumuri tempat tidurku dengan kata-katamu.
-Buat Angga Nurfauza Rachviana
Bandung, 4 Juli 2010
Senin, 23 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Gerhana bulan kehilangan penonton. Gelap malam pun merayakan kemenangannya.
Disimpannya langit yang semakin menghitam. Dan awan mulai berarak menutupi
matahari. Lalu kemana perginya cahaya? Dibiarkannya gelap bersorak-sorai.
Aku mulai membuka pintu dengan luka, membiarkan masuk ia yang sejak pagi berdiri.
Masa lalu, Setiabudi, dan air mata menimbun di tubuhku. Mereka melumat tubuh,
menari-nari sendiri. Seorang lelaki masuk. "Beri aku sebuah kepercayaan,
maka takkan lagi ada permainan konyol seperti kemarin". Percakapan
menjadi bara di atas meja. Kukunyah api. Ia keluarkan air.
Dititipkan hati pada sebuah benda. "Ini bukan apa-apa, semoga
kau mulai dapat menyambung cerita, merangkainya di lubang hati, kemudian
kau tanam menjadi bagian tubuhmu". Aku mulai memintal takut dan resah. Memasukkan
ke lubang otak. Kututup pintu. Dan akhirnya kau lumuri tempat tidurku dengan kata-katamu.
-Buat Angga Nurfauza Rachviana
Bandung, 4 Juli 2010
Disimpannya langit yang semakin menghitam. Dan awan mulai berarak menutupi
matahari. Lalu kemana perginya cahaya? Dibiarkannya gelap bersorak-sorai.
Aku mulai membuka pintu dengan luka, membiarkan masuk ia yang sejak pagi berdiri.
Masa lalu, Setiabudi, dan air mata menimbun di tubuhku. Mereka melumat tubuh,
menari-nari sendiri. Seorang lelaki masuk. "Beri aku sebuah kepercayaan,
maka takkan lagi ada permainan konyol seperti kemarin". Percakapan
menjadi bara di atas meja. Kukunyah api. Ia keluarkan air.
Dititipkan hati pada sebuah benda. "Ini bukan apa-apa, semoga
kau mulai dapat menyambung cerita, merangkainya di lubang hati, kemudian
kau tanam menjadi bagian tubuhmu". Aku mulai memintal takut dan resah. Memasukkan
ke lubang otak. Kututup pintu. Dan akhirnya kau lumuri tempat tidurku dengan kata-katamu.
-Buat Angga Nurfauza Rachviana
Bandung, 4 Juli 2010
0 Response to "Dan Aku Memintal Tanya"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar on "Dan Aku Memintal Tanya"
Posting Komentar